KARAWANG | ONEDIGINEWS.COM | Dugaan pelecehan seksual terhadap santriwati di salah satu lingkungan Pondok Pesantren (Ponpes) di Kecamatan Majalaya, Karawang membuat heboh publik.
Disisi lain, Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PCNU Kabupaten Karawang, KH. Ammar Fasni LC., mengatakan dari penelusuran pihaknya ke lokasi ponpes tersebut, tidak ditemukan adanya dugaan pelecehan seksual.
“Hasil penelusuran kami tidak menemukan adanya dugaan pelecehan seksual di ponpes itu, pemicunya dari adanya laporan dari orangtua santriwati yang mendapat informasi sepihak,” katanya, sebagaimana dilansir dari tvberita.co.id.
Begitu juga adanya dugaan Al-Isra bukan pondok pesantren tapi ketika kita kroscek ke Kemenag Kabupaten Karawang ternyata telah terdaftar izin operasionalnya,” ulasnya lagi.
Menurutnya, dugaan kasus itu merupakan kesalahpahaman antara pihak orangtua dengan Ponpes Al-Isra karena kemungkinan santriwati yang mengadukan ke orangtua adalah santriwati yang tidak betah mondok lalu membuat alasan-alasan pembenaran (tidak betah) yang justru menimbulkan polemik di tengah masyarakat Karawang.
Pernyataan Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PCNU Kabupaten Karawang, ini pun, disorot tajam oleh GUSDURian Karawang.
Rohiman, Koordinator GUSDURian Karawang, dalam pernyataannya mengatakan, bahwa dalam hal kasus kekerasan seksual, seharusnya konsen pada korban. Maka dari itu, dirinya tidak setuju dengan statement apa pun yang menyalahkan korban.
Lagipula, lanjutnya, dalam hukum acara pidana tidak ada istilah yang namanya tabayyun atau cross check kepada pihak terduga pelaku.
“Kalo sudah dibuatkan laporan kepolisian, ya buktikan secara hukum, dong. Mana ada pelaku ngaku, ya penjara penuh. Gara-gara seperti inilah, dalam setiap terjadi kekerasan seksual, korban tidak mau speak up (bicara). Karena banyak orang yang tidak percaya pada apa yang diungkapkan korban,” ucap Kang Iman sapaan akrabnya.
Menurutnya, pihak-pihak yang lakukan penelusuran itu bukanlah penyidik, dan tidak punya keahlian ilmu kepolisian untuk menyelidiki sebuah kasus. Jadi tidak perlu melakukan penelusuran seakan-akan mampu menginvestigasi. Bukannya menyelesaikan kasus, justru malah melempar bola liar ke publik.
Bahkan dalam proses penyelidikan pun, polisi harus mengedepankan pembuktian saintifik investigasi menggunakan pembuktian secara ilmiah sesuai dengan bidang keahliannya, misalnya surat keterangan dari psikiater.
Karena, lanjutnya, berkaitan dengan alat bukti, jika merujuk pada UU TPKS terkait alat bukti surat, selain bukti visum, penyelidik/penyidik dapat menggunakan bukti yang lain seperti rekam medis dan bahkan surat keterangan psikologi klinis atau psikiater atau spesialis kedokteran jiwa. Jadi tidak boleh penyelidik/penyidik hanya terpaku pada alat bukti visum dalam konteks fisik korban.
“Untuk itu, saya harap semua pihak jangan sok tahu. Segala lakukan investigasi dengan hanya meminta keterangan pelaku. Hal yang tidak ada dalam proses hukum acara pidana. Biarkan proses hukum berjalan sebagaimana mestinya. Percayakan saja pada Kepolisian,” tegasnya.
Sebelumnya, seorang pimpinan salah satu pondok pesantren (ponpes) di Kecamatan Majalaya, Karawang diduga mencabuli puluhan santriwatinya. Hal itu terungkap saat para orang tua korban melaporkan kasusnya ke kepolisian. (Red)